Jumat, 03 Februari 2017

Gedung Batin Destinasi Yang Menginspirasi

Gedung Batin

Usai tebar pesona di Taman Malini dan stasiun Blambangan Umpu kami menuju kampung wisata lestari Gedung Batin.


Cuaca cerah bersinergi dengan semilir angin serta canda tawa sepanjang perjalanan menambah hangatnya perjalanan ini. Jadi ungkapan itu, tentang dengan siapa kamu melakukan perjalanan, so true. It is the journey NOT the destination that matters.



Setelah dimanjakan dengan jalan mulus, saatnya memulai petualangan. Pemandangan kali ini mengingatkan aku akan kampungku nun jauuuh di Sumatera Utara. Barisan pohon karet di kanan-kiri segera menyambut kami.

Gedung Batin

Mbak Rien membuka jendela mobil dan udara kaya oksigen segera menerpa indera. Sesekali kami berpapasan dengan kendaraan roda empat dan roda dua. Kali ini jalanan dengan pengerasan batu bagai simfoni di tengah rimba. Keresek... keresek... menambah kesan magis, kakaaa...

Tak lama sebuah tugu yang mengingatkan aku akan kampung suku Indian di film koboi yang pernah aku tonton. Nuansa etnik dan magis kembali langsung terasa.

Tugu pencanangan kampung wisata lestari yang dibangun tahun 2007 ini merupakan pertanda bahwa kita telah tiba di kawasan Gedung Batin.
Gedung Batin

Begitu turun dari mobil, aku merasa seperti terlempar menjelajah masa lampau. Suara jangkrik berpadu dengan cicit burung sesekali terdengar dari kejauhan. Hari itu menjelang sore, beberapa warga sedang berkumpul di pelataran rumah panggung kuno yang diklaim berusia hampir 400 tahun.

Bersama kelompok kami ada juga Bang Yazid, mbak Desva dan Mas Heri, tim komunitas pariwisata masa depan dari Way Kanan (K@wan), yay, go... go... go...!

Begitu kami mendekat, sontak anak-anak segera merapat, menatap lekat. Semakin kental aura lampau terasa saat menyeret langkah ke pelataran rumah.

Bapak Rajamin, si empunya rumah menjelaskan bahawa rumah panggung ini terbuat dari kayu tembesu prima, dan  menurut wikipedia kayu ini memiliki proses tumbuh yang lambat sehingga baru dipanen ketika berusia 30 tahun. Kayu ini berat, keras dan tahan lama. Tak heran makanya dipilih ya.

Bangunan ini dirintis oleh nenek moyang Way Kanan pada abad ke 14 Masehi dan pada tahun 1808 pemerintahan Belanda menetapkan penataan permukiman ini menjadi kampung percontohan untuk kampung-kampung lain di Lampung pada masa itu.

Terbukti kayu tembesu memang kuat bagai besi, buktinya rayap tidak dapat menembus serat rapat kayu dahsyat ini. Lihatlah, semua tiang-tiang rumah masih berdiri kokoh. Tetap tegap!


Gedung Batin


Gedung Batin


Gedung Batin

Selanjutnya kami ke rumah Pak Ali. Dan rencana juga berubah karena terbatasnya waktu kami memutuskan menginap di sini karena besok akan menuju destinasi favorit yang sudah lama dinanti-nanti, Air Terjun Putri Malu dan beberapa destinasi kece lainnya.

Rumah Pak Ali sendiri diklaim berusia 370 tahun. Wow! Beranda Pak Ali sangat luas. Duh, lupa gak bawa meteran. Hihihi... sepertinya seluas lapangan volley ni. Melihatnya saja, segala capai di raga langsung menguap ke udara. 

Kami dipersilahkan eksplor di ruang dalam. Perabotan seperti kursi dan lemari saling bersaing dengan usia rumah. Ada juga engsel kayu yang berbentuk seperti burung, yang diklaim berasal dari Inggris.

Pindah kembali ke beranda, kami pun larut dalam obrolan. Alhamdullillah, pucuk dicinta ulampun tiba! Neng Desva dan isteri Pak Ali keluar dari dalam membawa camilan, kopi dan teh. Hmmm... mendadak lelah menguap seketika! Wangi kopi segera memenuhi ruang hati eh udara.

Selanjutnya suara seruput kopi membahana, bersahutan membelah keheningan sesekali ditingkahi kerenyahan camilan di sela gigitan demi gigitan.


Next stop, Way Besai River!

Gedung Batin Destinasi Yang Menginspirasi! 

Sungai ini hanya beberapa meter dari rumah Pak Ali. Sebuah jembatan sudah menanti. Bukan blogger traveler dong namanya kalau tidak segera beraksi, yup, selfie eh wefie sukaesih! Meski fisik hampir rontok, jadi mendadak berenergi kalau sudah sesi narsis begini. Cekidot! Hihihi...

Gedung Batin


Gedung Batin


Sungai Way Besai disebut-sebut menjadi tempat 'bertapa" si ikan tapah

Biar lebih afdol aku segera tanya si mbah apa itu ikan tapah? 


Lagi-lagi aku langsung teringat kampung halaman masa kecil di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Masa kecilku sangat dekat dengan sungai. Bahkan belakang rumahku berbatasan langsung dengan Sungai Bah Bolon. Sayup-sayup kadang aku bisa mendengar lirih aliran apalagi jika usai hujan, Bah Bolon melimpah dengan arus yang lebih deras.

Melihat potensi sungai Way Besai ini, Indra mencetuskan ide rafting kepada Bang Yazid, pimpro pariwisata Way Kanan.

Gedung Batin sungguh destinasi yang berpotensi dan menginspirasi jika berada di tangan yang tepat, Insya Allah!

Hari semakin senja, kumandang jangkrik berpadu dengan bau menyengat karet membungkus suasana. Kami memutuskan kembali ke rumah Pak Ali tapi... ya tetap ritual wefie, sodara-sodara. Kali ini temanya agak manusiawi, posenya agak jaim-jaim giccuu. Xixixi...

Gedung Batin

Menghabiskan Malam di Gedung Batin

Sampai di rumak Pak Ali, mentari sudah kembali ke peraduannya. dan keheningan mulai mengisi pemukiman. Sudah tak tampak lagi orang berlalu-lalang di jalan. Semuanya menghangatkan diri dalam kediaman. Bercumbu dengan kesunyian atau dengan anggota keluarga berbagi kehangatan.

Aku tak sabar ingin membersihkan badan, bakteri sudah mulai pamer kekuatan, rasa gatal mencoba menggodaku untuk memulai garukan demi garukan.

Kamar mandi lumayan jauh di belakang rumah dan kami disarankan pergi minimal berduaan untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan.

Untungnya rumah pak Ali sudah dialiri listrik jadi tak perlu panik.

Dari arah dapur terdengar aktivitas yang mengundang selera, aroma makanan menggoda hingga ke ruang tengah, Apa gerangan menu malam ini ya?

Tarraaa.... ini dia! Hidangan kaki lima dengan cita rasa bintang lima karena dinikmati bersama orang-orang istimewa. Semuanya khusyu menikmati suapan demi suapan, sesekali diselingi obrolan.

Indahnya kebersamaan!

Hidangan istimewa ala Gedung Batin


Usai makan malam kami mengobrol sebentar berbagi pengalaman petualangan yang begitu berkesan. Tetapi, satu demi satu akhirnya menyerah dan beristirahat, mempersiapkan energi untuk petualangan tak terlupakan yang sudah menanti di depan seperti Air Terjun Putri Malu, Gigi Hiu yang eksotis dan fenomenal serta atraksi lumba-lumba Teluk Kiluan yang hampir mirip dengan  wisata pantai Lovina Bali yang aku baca di Indonesia Travel.

Beberapa bulan kemudian Bang Yazid benar-benar mengeksekusi beberapa potensi wisata Gedung Batin seperti tubing dan menginspirasi munculnya aneka paket wisata kampung Gedung Batin, menebar manfaat dan menggerakkan roda perekonomian masyarakat di sana, Insya Allah.

Tertarik?

Bisa langsung kirim pesan di fanspage di https://www.facebook.com/wisatawaykanan.

Bang, Yazid, you... rock! Tetap semangat ya.

Sungguh, Gedung Batin memang destinasi yang menginspirasi!



Ilustrasi:
foto 1: http://yopiefranz.com/
foto 2: https://captureourhearts.wordpress.com/2014/10/13/all-of-life-is-a-process-enjoy-the-journey
foto 3: http://www.duniaindra.com/2016/08/menikmati-kesahajaan-kampung-wisata.html
foto 4: http://www.adventurose.com/2016/08/warisan-lampau-budaya-lampung-di-gedung-batin.html
foto 5 & 6: http://www.duniaindra.com/2016/08/menikmati-kesahajaan-kampung-wisata.html
foto 7: http://www.duniaindra.com/2016/08/menengok-rumah-panggung-khas-lampung-di.html
foto 8 & 9: by Yopie Pangkey http://yopiefranz.com
foto 10:https://www.google.co.id
foto 11: by Yopie Pangkey http://yopiefranz.com
foto 12: http://www.duniaindra.com/2016/08/menikmati-kesahajaan-kampung-wisata.html

24 komentar:

  1. Umur rumah sampai 370 tahun gitu. Kalau dijual laku berapa tuh.
    Keren yah, kadang kalau dipikir-pikir orang desa itu lebih kaya dari pada orang kota.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini aset Pemda setempat, sepertinya tidak akan dijual tapi akan dirawat.

      Hapus
  2. Suasana kekeluargaan inilah yang membuat rasa kebersamaan makin seru ya kak...Suasana ruang makan dengan hidangan sederhan terasa sangat nikmat sekali ..teringat masa2 kerja di pedalaman dl..paling suka bagian makannya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, ternyata mood dan lokasi kita bersantap itu mampu merubah menu kaki lima jadi rasa bintang lima, yaa...
      Jadi tak melulu soal menu...

      Hapus
  3. Wow, cagar budaya yang sangat klasik sekali ya, Mak. Semoga tetap dikelola oleh tangan yang tepat biar usianya bukan cuma 370,400, 500 aja tapi bisa berabad-abad kayak rumah-rumah tua di Eropa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju, mbak. Perlu komitmen tinggi di sini. Semoga yang berkompeten bisa langsung beraksi.

      Hapus
  4. Aku baru tahu ikan tapah mba. Inii keren banget mba, rumahnya juga keren, harus dirawat supaya tetap baik kondisinya ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju, memang perlu konsistensi untuk mengeksekusi!

      Hapus
  5. duh seneng banget mbak, dirimu sudah kemana-mana, bareng teman lagi menjelajahnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sungguh "dengan siapa" itu memang lebih nendang ketimbang tujuan kemana, ya mbak.

      Hapus
  6. jauh2 dari Kaltim udah sampai Lampung aja..
    mudik tiap tahun ke Lampung nggak bisa ke mana2 he.. he..
    aku bookmark ya, pengen kali lah ke sini

    BalasHapus
  7. Mantap...

    Follow www.mangandosetiawan.com

    BalasHapus
  8. Way Kanan, negeri 1000 air terjun. Tempat yang indah dan menyimpan sejarah. Semoga terjaga kelestarian alam dan bangunan tuanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju. Lampung sungguh bak harta karun yang kudu dilestarikan agar bisa dinikmati turun temurun.

      Hapus
  9. Kak Roooos... Aku kangeeeeen! Tulisan ini bikin kangennya jadi berlipat-lipat..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maafkan daku, tak bermaksud begitu.
      Sampai jumpa di Tidore #eh.

      Hihihi... boleh dong geer ye ~_*

      Hapus
  10. wihhhh asik banget jalan-jalannya Mbakkk... jadi Mupengggggg

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kapan ya arisan BP 6, ngebolang bareng?
      Dijamin seru tuh, pastinya!

      Hapus
  11. kalo rumah kayu itu gak usah dihitung nilai historisnya, dihitung nilai fisiknya aja udah milyaran kali hehehe kayu tembesu itu paling kokoh utk konstruksi rumah, susah nyarinya makanya harganya pun ampun dijee kak :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju. Menurut yang aku baca, sehubungan pertumbuhannya yang lambat, setelah berusia 30 tahun baru layak dipanen.

      Hapus
  12. Nah kan, baca cerita kak Ros aku jadi mupeng. Jadi pengen bisa main-main ke lampung

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju, Lampung, memang destinasi yang menginspirasi!

      Hapus

Holaaa...!
Terimakasih ya sudah berkunjung ke sini.
Mohon maaf komentar kudu dimoderasi sebelum dipublikasi.