Rabu, 13 Mei 2015

Misteri Hati


Misteri Hati.  Duh, judulnya horor banget yak!

Liburan kali ini kami sepakat berbuat sesuatu yang berbeda!

Iqbal, yang asli penduduk Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara rupanya sudah punya rencana.

"Guys, kita akan berkeliling Pulau Karang!" dia membuka pembicaraan di suatu pagi saat kami menikmati ketan hangat yang ditaburi kelapa dan sepotong pisang goreng, sementara Yusran yang sedang menyeruput teh hangat, menoleh sambil mengangguk-angguk. Gak jelas kenapa.

"Sudah pernah kesana, sebelumnya?" tak tahan aku mengangkat kepala dan menoleh padanya

"Sudah, tapi duluuuu, waktu aku kecil, katanya sambil memperlihatkan kelingking"

Ada-ada saja!

"Tapi, di sana tak ada apa-apa lho!" Kita harus bawa bekal lengkap, Zuhra sepupu Iqbal ikut menimpali.

"Aku akan sewa perahu!" Fauzi yang biasanya irit bicara kali ini menyumbangkan pemikirannya

Pulau Karang yang akan kami tuju-masih menurut Iqbal, selalu menjadi tujuan liburan, terutama bagi anak-anak perantauan seperti kami yang jarang pulang kampung.

Kebetulan aku dan Iqbal sama-sama merantau ke Kalimantan, kami bertemu saat kuliah umum di auditorium Kampus Gunung Kelua, Universitas Mulawarman, Samarinda.  Sementara Fauzi, Yusran dan Zuhra, semuanya adalah sepupu Iqbal yang tetap setia jaga gawang di kampung. Aku kenal mereka lewat cerita dari Iqbal. Dan sejak saat itu persahabatan kami terbina.

Untuk sampai ke Barus, dari Samarinda kami harus menempuh 3 jam perjalanan bis ke kota Balikpapan. Meski Samarinda ibukota Propinsi Kalimantan Timur, bandara terletak di Balikpapan. Unik ya! 

Aku suka sekali kalau ke Balikpapan. Jalanannya mulus dan bisnya juga nyaman. Tak lupa aku bawa oleh-oleh khas Samarinda, amplang, sejenis kerupuk ikan dan gelang yang terbuat dari manik dan mutiara imitasi. Yang asli juga ada, cuma duitku yang tak ada. Ha ha ha ha ha.

Dari Balikpapan kami menggunakan pesawat menuju Batam kurang lebih dua jam dan lanjut ke Kualanamu International Airport (KNIA) selama 1,5 jam. 

Aku bermalam di rumah adikku Roni di Lubukpakam, sementara Iqbal nginap di rumah kakaknya di Medan.

Besoknya Iqbal menjemput aku dan Roni, dengan mobil carteran kamipun menuju Barus. 

Kali ini kami harus 9 jam dalam perjalanan. Bisa sih naik pesawat dari KNIA, cuma 45 menit sampai deh di Sibolga, ibukota propinsi Tapanuli Tengah. Tapi apa enaknya, kalau liburan semua serba pesawat ya. Tapi yang utama sih,, lagi.. lagi .. dananya. Ha ha ha ha ha.

**

Hari itu, di dermaga Barus, sang surya begitu perkasa, di tingkahi semilir angin membawa aroma amis dari kerajinan ikan asin dari sudut desa.

Sesaat sebelum berangkat kamipun mencoba kamera. Klik,, klik,, masing-masing dengan gaya suka-suka.

Pengalaman unik segera bermula. Perahu tak bisa berpadu seirama dengan bibir pantai, karena ombak & angin senantiasa mengusik dengan lidahnya. Begitu perahu mulai mendekap pasir, ombakpun segera beraksi, walhasil perahu kembali bergoyang genit.

Apa daya, kami harus meloncat kedalam air, berpegangan erat ke tepi perahu dan hup,, loncat,, atau tepatnya separuh merangkak masuk ke perahu.


Nyanyian mesin motor perahu memecah riuh ombak, perlahan bibir pantai berubah bak sebaris senyuman dari kejauhan . Bayu semilir membelai pipi, ku pejam mata meresapi karunia Illahi. Atas kesehatan hari ini, sehingga kami semua berkesempatan berbagi.

"Itu pegunungan Bukit barisan!" Iqbal membuka pembicaraan di sela-sela deru mesin perahu

Ku putar kepala, cuaca cerah, tanpa awan yag menggoda, barisan kanopi pegunungan menghijau seolah membungkus kami, jelas terekam mata. Permukaan air laut berkilat-kilat. Sekonyong-konyong ombak besar datang. Aku segera mencekal erat tepi perahu. Mukaku terasa pias karena cemas. Aku segera komat-kamit memasang doa, agar laut kembali tenang. Oh,, ternyata ada kapal nelayan melintas. itu penyebabnya!

Lalu kami saling berbincang. Tentang apa saja. Tentang mungkinkah mengulang kembali perjalanan ini suatu hari nanti. Tentang kegiatan apa yang dilakukan begitu tiba di akhir perjalanan. Tentang hikayat mengapa diberi nama “Pulau Karang”. Sesekali cerita lucu di lontarkan Roni. Dia memang suhunya. Tak seru kalau tak ada dia, makanya aku ajak dia. Kamipun terpingkal-pingkal tertawa. Ahh,, senangnya!

Memasuki separuh perjalanan, air laut berwarna bening kehijauan. Duhai indah nian. Zuhra mulai bernarsis ria. Klik,, klik,, bunyi kamera begitu menggoda.  

Terik mentari yang memanggang, tak menyurutkan hasratnya untuk bersenang-senang.  Tak mau kalah, segera ku raih kamera, tak lama perang klik pun membahana. Masing-masing dengan pose idola,, ya apalagi kalau bukan suka-suka. Pose ala Titanic ada, ala model kelas wahidpun, hayyuk,, yang pose apa adanya ya,, monggo.  Kalau aku mah, jangan di tanya. Pose gado-gado aku menjulukinya. Ya, tentu saja! Mumpung di tengah samudera. Ha.. ha.. ha.. 

Ada banyak pukat nelayan di tengah sana. Aktivitas burung camar tak kalah indahnya. Adakalanya menukik dan mencengkeram ikan, sementara yang lainnya berputar-putar sambil bergerombolan. Saat itu memang tak ada kegiatan nelayan,  Menurut Iqbal, biasanya mereka datang menjelang tengah malam, agar hasilnya dapat di bawa keesokan harinya ke pasar setempat. Jadi ikan masih segar ketika jual beli di mulai umat.

Perlahan, pulau karang mulai menampakkan senyuman, seolah memanggil kami,, bergegaslah!

Raungan mesin melemah, kapal mulai menepi. Rasa penasaran menghampiri. Lambaian nyiur kelapa menyambut mesra.  Pasir putihnya begitu menggoda.  Tak ada dermaga tersedia. Jadi, sama halnya saat berangkat tadi, acara turun perahu  juga pakai gaya yang sama. Meloncat ria. Lumayan, hitung-hitung buat bekal di jalan. Duh,, gak nyambung banget ya,

Begitu menjejakkan kaki, pasir putih lembut menyambut, serasa terhanyut. Ku lepaskan pandangan seraya menghirup udara segar. Nun jauh di ujung pulau, nyiur menunduk kikuk.  Kuputar kepala ternyata beberapa nyiur punya selera sama, seolah sedang yoga.  

“Ayo saatnya bernarsis ria!”, aku berteriak, lalu kamipun berhamburan ke tepi pantai seperti gerombolan balita. Klik!

Iqbal tak mau kalah. Dia mau mewujudkan obsesinya. Berlevitasi ria!

Dia memintaku mengabadikannya.

Meski dengan berkali-kali trial & error, akhirnya dia berhasil. 

"Berhasil,, berhasil,, hore!" dia bernyanyi & berjoget dengan tubuh basah kuyup & ngos-ngosan.

Duh,,perut sudah tak bisa di ajak kompromi lagi, bekal siap di nikmati.
Beralas pelepah nyiur kering, kami bertebaran mencari posisi di antara semak belukar. Nikmat tak terhingga, menu kaki lima, rasa bintang lima. Sembari memandang ke laut lepas, nuansa biru kehijauan, rasanya tak ingin sedetikpun melepas pandangan.

Saking laparnya tak seorangpun yang ingat untuk mendokumentasikannya. Hi hi hi. So,, tidak ada pose mangap edisi kali ini. 

Misi selanjutnya mengelilingi pulau. Dengan diameter kurang lebih 2 km, dan perut sudah kenyang, rasanya, itu misi yang masuk akal. Ha ha ha ha.
  
Kami memutuskan mulai dari sisi kanan pulau. Sisa bekal kami tinggalkan saja. Lagi pula siapa juga yang mau iseng mencuri di siang bolong begini. Wong pulau ini tak ada penghuni.  Kalau penghuni lain… wah gak mau mikir ke sana ah.

Pasir putih lembut segera mendominasi kaki, rombongan siap membakar kalori!
Semakin ke ujung pulau pasir semakin lembut dan air semakin bening, hingga suatu saat kamipun tak tahan lagi. Melebur ke bumi. Dan, lihat! ada bangkai kapal nelayan di sini! Lamat-lamat terdengar kapal nelayan melintas. Hal seperti ini harus di dokumentasi. Jadi, ya foto lagi! Klik!

Tak puas sampai di sini, kami beranjak bergerak ke tengan laut. Air semakin bening ditambah pantulan sinar matahari, nuansa hijau berkilau-kilau. Takjub dan terpukau.  Rasa gembira dan terpesona kami pekikkan ke udara. Yihaaaaa.

Dan aku mengabadikannya. Klik!

Sisa perjalanan tak banyak berbeda. Pasir putih lembut tetap bergayut di kaki seolah enggan beranjak pergi. Pose nyiur eksotis menambah minat narsis. Kadang kala rebah menjorok ke tengah laut. Di lain waktu merebahkan diri ke pangkuan pasir.

Sayang seribu sayang, karang berbagai warna yang konon buat pulau ini terkenal, hanya tinggal cerita.  Karang yang kami temukan sudah mati dan hanya satu warna, putih.  Agaknya penggunaan bahan peledak nelayan penangkap ikan disinyalir menjadi penyebab dan juga peristiwa pemanasan global serta bertambahnya derajat keasaman dan suhu air laut yang tinggi.

2 km rasanya sangat singkat! Belum habis pesona, kami sudah kembali lagi ke tempat semula. Eh,, perut kembali menggoda. Tapi,,, kemana semua nih sisa bekal? Siapa yang ambil ya? Yang tersisa hanya air minuman kemasan dan lauk pauk. Bahkan panci nasi beserta sendok, hilang tak tentu rimba! Kami mencari sepanjang bibir pantai. Tak ada jejak di sana! Hmmm... aura misteri segera membahana.

“Ada yang mau mencoba masuk hutan?” Aku menggoda.

“Sudahlah, ikhlaskan saja!” suara Iqbal melemah

Tak mau merusak suasana, kamipun sepakat mengubur misteri itu hingga detik ini.
  
Sambil menunggu perahu penjemput, kembali kepada pasir kami melebur. Takjub!
Merebahkan raga, bersama-sama melepas pandang ke tengah lautan, beberapa kapal nelayan memulai kegiatan. Hilir mudik ke kiri ke kanan. Sesekali tanganku membelai pasir, meresapi kelembutan hingga jauh masuk ke relung hati terdalam. Sempurnanya cipta Tuhan Esa.

Lamat terdengar mesin perahu, seketika kalbu tergores sembilu. Petualangan ini segera akan berakhir.  
Kami bergegas masuk perahu, melompat ala Tarzan minus pekikan. He he he.
Kali ini pakaian kami basah kuyup, karena saat keliling pulau tadi, pakai acara berenang di tengah laut.

Hampir setengah perjalanan, alamak,, sepertinya ada yang tak beres dengan mesin perahu. Blup.. blup,,  bunyinya itu,, mengkhawatirkan. Tuh.. kan akhirnya mati sama sekali. Posisi kami tepat di tengah lautan, dengan terik surya yang menggigit.  Paket komplit! Motoris berupaya unjuk gigi, namun mesin tak bisa lagi diajak kompromi. Tetap mati. Jadilah kami terapung, terkatung-katung.

Rencana cadangan di jalankan, Fauzi mengubungi salah seorang teman yang kebetulan seorang juragan. Julukan untuk pemilik kapal. Syukurlah, kapal pengganti siap di kirimkan.

Kasihan, Zuhra tak kuat dipermainkan ombak yang sesekali mempermainkan perahu, dan akhirnya memilih duduk di lantai perahu. Aku termasuk yang beruntung tak merasakan apa-apa, justru menikmati suasana yang menurutku,, hmm romantis lah yau. Betapa tidak. Di tengah lautan bening hijau, di dalam perahu yang bergoyang lembut. Sang bayu tak henti bertiup. Di sekeliling perahu ikan kecil merapat, seolah ingin berbagi tempat. Kapan lagi bisa merasakan sensasi seperti ini.

Untuk menghilangkan kebosanan Iqbal dan Roni kembali berbagi lawakan, tak ayal Zuhra yang mualpun dipaksa berbagi senyuman.

Tak lama perahu penggantipun tiba. Kali ini kami harus berjuang keras untuk berpindah perahu. Terbayangkan kalau jatuh di tengah laut, apalagi ku lihat tak ada alat keselamatan sama sekali. Hiii... Ngeri. Untunglah, tak ada apa-apa yang terjadi. Mulus terkendali!

Perahu kembali membelah lautan, kini mentari tak lagi segarang tadi. Tiba-tiba.. dua ekor lumba-lumba berenang tak jauh dari perahu, namun berlawanan arah dengan kami. Duh,, sayang sekali aku tak sempat mengabadikannya. Agaknya sepasang sejoli lumba-lumba. Eh,, tak berapa lama mereka meloncat ke permukaan lagi, namun posisinya sudah tak sedekat tadi. Aku tak ingin berpaling,, namun sampai kami berbelok, lumba-lumba kasmaran tak kelihatan lagi. Sungguh pengalaman istimewa, sukar melukiskannya dengan kata-kata.

Dermaga Barus, masih seperti tadi, tersenyum penuh keramahan menyambut kami. Ritual turun perahu sedikit berbeda, Iqbal, Fauzi, Yusran dan Roni nekat melompat ke laut dan berenang mencapai bibir pantai. Aku dan Zuhra memilih meloncat hingga perahu merapat ke tepi dan mendarat lembut di pasir putih.

Aura puas tergambar jelas diwajah kami, masing-masing membawa pulang pengalaman indah tak terperi plus membawa misteri hati oleh-oleh pantai karang Barus yang eksotis ini.

Kupanjatkan doa dalam hati. Semoga kelak bisa ke sini lagi.

***

Pagi ini, iseng aku buka kembali album foto liburan kami. Rasa hangat segera menjalari wajah ini saat menyusuri perjalanan panjang persahabatanku dengan Iqbal.

Selalu saja perjalanan ini meninggalkan pesona dan kesan, bahkan hingga kini menjelang usia 25 tahun pernikahan. Tak sampai di sini, puteri semata wayang kami pun memendam obsesi ingin mengulang petualangan magis dan mistis ini.





Sabtu, 02 Mei 2015

Umroh Bagian Dua

Umroh Bagian Dua. Ada Bajaj di Kolombo Sri Lanka

Morning call” jam 5 subuh waktu Kolombo membangunkanku.
Biar nyambung, sebelumnya baca di sini ya...
Suara Pak Ustad mengingatkan agar kami bertemu jam 7 pagi di restoran hotel. Senyum lebar tersungging. Tak sabar ingin mencoba menu hotel.

Masih terbayang nikmat suguhan tadi malam yang sangat berkesan! Gerangan apakah tamu perut pagi ini? He he he. Plus di tambah suka cita bahwa kami akan menuju tanah suci, menjadi tamu ya Illahi Robbi. Nikmat mana yang akan aku dustakan lagi?

Sesampai di restoran, ternyata jamaah sudah banyak yang duluan. Lokasi makan masih sama seperti tadi malam. Wah, ternyata panorama sekitar restoran indah nian. Di balik kaca terhampar rumput hijau bagai permadani yang siap mengajak terbang, berdampingan dengan kolam renang yang memantulkan kemilau bak berlian dari kejauhan. 

Aku berbisik pada mama agar silahkan memilih menu. Nasi goreng, mie goreng, roti bakar dan sup, lengkap tersedia, menunggu di sentuh. Belum lagi aneka buah yang telah diiris rapi, tinggal tunggu di eksekusi. Pokoknya dari tampilannya sudah terbayang deh kelezatan dan kandungan gizi.

Seperti biasa aku memilih irisan buah pepaya dan aneka roti mungil, sebagai pembuka selera pagi ini. Hmm, yummy! Selanjutnya nasi goreng pun masuk nominasi. Alhamdullillah.

Usai sarapan kami berjalan-jalan di sekitar kolam renang dan tentu saja sesi berfoto ria!


Belum puas, aku ajak mama dan adik berjalan ke bagian depan hotel yang ternyata luas sekali. Terawat dan rapi. Tak ketinggalan pose dengan doorman, penduduk lokal asli.

Rasanya Pak Ustad layak dapat jempol untuk pilihannnya kali ini.





Tak berapa lama bis jemputan tiba, kamipun bersiap menuju bandara Nike di Kolombo. Suasana sepanjang perjalanan, kurang lebih sama dengan di Indonesia pada umumnya. Namun di sepanjang perjalan ke bandara tidak ada pedagang kaki lima apalagi di simpang lampu lalu lintas, bebas pedagang asongan. Tak seperti di negara kita tercinta.

Simpang lampu lalu lintas Kolombo Sri Lanka bebaspedagang asongan

Hanya ada beberapa mobil, sepeda motor dengan penumpang yang lengkap dengan safery riding, dan hei... lihat ada juga sejenis becak beroda tiga (bajaj) di sini. Berasa di Indonesia. Jalanan masih lengang. Tanpa hambatan kamipun sampai di bandara, kurang lebih 10 menit.


Bajaj di Kolombo


Pemeriksaan pertama di mulai, kami diminta membentuk dua barisan. Pria dan wanita. Untuk wanita tak terlalu banyak prosedur. Melewati pintu, alat deteksi berbunyi, selesai.

Namun lain halnya dengan kaum pria, mereka diminta membuka tali pinggang dan sepatu. Walhasil irama antri pun terganggu. Penumpukan massa. Nah, betul kata Pak Ustad, sesungguhnya melalui proses seperti inilah kadar kesabaran kita mulai diuji. Perang melawan nafsu sesungguhnya telah dimulai.

Oh iya, aku juga melihat ada banyak jamaah lain yang telah mengenakan ihram. Melihat profil wajah dan pembawaan, agaknya mereka penduduk lokal.

Memasuki areal “check in” bandara, kami melewati berbagai gerai toko. Kurang lebih sama dengan di negara kita. Namun di bandingkan dengan KNIA (Kualanamu International Airport), bandara Nike agak “buram” seperti kurang cahaya. Atau memang di desain sedemikian rupa, atau mungkin tipe bolamnya yang remang-remang romantis.

Lagi lagi kesabaran kami kembali di uji, kurang lebih 2 jam kami menanti proses check-in, saking banyaknya jamaah yang ingin beribadah. Kebanyakan yang melakukan checking hanya "leader" perjalanan, sama halnya dengan Pak Ustad yang telah sebelumnya mengumpulkan semua paspor. Jadi, hanya beliau saja yang melapor ke meja petugas, sementara kami di persilahkan mencari posisi masing-masing.

Ada yang hilir mudik ke sana ke mari, ada yang duduk di lantai, karena kursi terbatas sekali. Kalau aku biasa la, bolak balik ke kamar mandi. Hi hi hi hi. Tentu saja tak lupa narsis sesekali bareng mama, yang hmm.. rupanya ikut menikmati momen ini. 

Yup, akhirnya tiba giliran kami, Pak Ustad kembali dengan aksesori stiker kertas berbentuk gelang dan meminta kami mengalungkannya di tas tenteng, pernak pernik dari "As Saudiyah", airline yang akan membawa kami ke Tanah Suci.

Hup.. hup.. buruan dandan, kita mau boarding ni, As-Saudiyah.

Lanjutannya, baca di sini, kakaa...